MAKALAH GIZI
BURUK
DI SUSUN OLEH :
TINI PURWATI
SURAYA
CAHYANTI
NUR AZIZAH
LINA PURNAMA
DEASY ZASBILAL
F
AYU INDRIAN
RACHMANAWATI
DEWI SINTA
DITA SLIS
DIARINI
JUWITA
MANDASARI
SEKOLAH TINGGI KESEHATAN (STIKES) MATARAM
PRODI D-IV KEBIDANAN
2013
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG …………………………………. 1
1.2 RUMUSAN MASADA …………………………………. 3
1.3 TUJUAN PENULISAN ………………………………… 3
BAB II TINJAUAN TEORI
2.1 PENGERTIAN ………………………………… 4
2.2 FAKTOR PENYEBAB GIZI BURUK ……………….. 4
2.3 TIPE GIZI BURUK ………………………………... 6
2.4 AKIBAT GIZI BURUK ……………………………….. 10
2.5 PENCEGAHAN GIZI BURUK ……………………….. 10
2.6 MASALAH GIZI DI INDONESIA ……………………….. 11
BAB III PENUTUP
3.1 KESIMPULAN ……………………………….. 13
3.2 SARAN ……………………………….. 13
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Masalah gizi merupakan masalah yang ada di tiap-tiap
negara, baik negara miskin, negara berkembang dan negara maju. Negara miskin
cenderung dengan masalah gizi kurang, hubungan dengan penyakit infeksi dan
negara maju cenderung dengan masalah gizi lebih (Soekirman, 2000).
Saat ini di dalam era globalisasi
dimana terjadi perubahan gaya hidup dan pola makan, Indonesia menghadapi
permasalahan gizi ganda. Di satu pihak masalah gizi kurang yang pada umumnya
disebabkan oleh kemiskinan, kurangnya persediaan pangan, kurang baiknya
kualitas lingkungan, kurangnya pengetahuan masyarakat tentang gizi. Selain itu
masalah gizi lebih yang disebabkan oleh kemajuan ekonomi pada lapisan
masyarakat tertentu disertai dengan kurangnya pengetahuan tentang gizi
(Azrul,2004).
Penanganan gizi buruk sangat terkait dengan strategi
sebuah bangsa dalam menciptakan sumber daya manusia yang sehat, cerdas, dan
produktif. Upaya peningkatan sumber daya manusia yang berkualitas dimulai
dengan cara penanganan pertumbuhan anak sebagai bagian dari keluarga dengan
asupan gizi dan perawatan yang baik. Dengan lingkungan keluarga yang sehat,
maka hadirnya infeksi menular ataupun penyakit masyarakat lainnya dapat
dihindari. Di tingkat masyarakat faktor-faktor seperti lingkungan yang
higienis, ketahanan pangan keluarga, pola asuh terhadap anak dan pelayanan
kesehatan primer sangat menentukan dalam membentuk anak yang tahan gizi buruk.
Secara makro, dibutuhkan ketegasan kebijakan,
strategi, regulasi, dan koordinasi lintas sektor dari pemerintah dan semua
stakeholders untuk menjamin terlaksananya poin-poin penting seperti
pemberdayaan masyarakat, pemberantasan kemiskinan, ketahanan pangan, dan
pendidikan yang secara tidak langsung akan mengubah budaya buruk dan paradigma
di tataran bawah dalam hal perawatan gizi terhadap keluarga termasuk anak.
Keberhasilan pembangunan nasional yang diupayakan oleh
pemerintah dan masyarakat sangat ditentukan oleh ketersediaan sumber daya
manusia. Indikator yang digunakan untuk mengukur tinggi rendahnya kualitas
sumber daya manusia antara lain Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan Indeks
Kemiskinan Manusia (IKM). Pada umumnya IPM dan IKM mempunyai komponen yang
sama, yaitu angka harapan hidup (tingkat kesehatan), penguasaan ilmu pengetahuan
(tingkat pendidikan) dan standar kehidupan yang layak (tingkat ekonomi). Pada
IPM, standar hidup layak dihitung dari pendapatan per kapita, sementara IKM
diukur dengan persentase penduduk tanpa akses terhadap air bersih, fasilitas
kesehatan, dan balita kurang gizi.
Tiga faktor
utama penentu IPM yang dikembangkan UNDP adalah tingkat pendidikan, kesehatan,
dan ekonomi. Ketiga faktor tersebut erat kaitannya dengan status gizi
masyarakat. Pada tahun 2003 IPM Indonesia pada peringkat 112 dari 175 negara,
sementara IKM pada peringkat 33 dari 94 negara. Jika dibandingkan dengan Negara
ASEAN lainnya, dapat dilihat pada tabel berikut:
NEGARA
|
IPM
|
PERINGKAT
|
IKM
|
PERINGKAT
|
Singapore
|
88.4
|
28
|
6.3
|
6
|
Brunei
Darussalam
|
87.2
|
31
|
-
|
-
|
Malaysia
|
79.0
|
58
|
-
|
-
|
Thailand
|
76.8
|
74
|
12.9
|
24
|
Philipine
|
75.1
|
85
|
14.8
|
28
|
Vietnam
|
68.8
|
109
|
19.9
|
39
|
Indonesia
|
68.2
|
112
|
17.9
|
33
|
Cambodia
|
55.6
|
130
|
42.8
|
73
|
Myanmar
|
54.9
|
131
|
25.7
|
45
|
Laos
|
52.5
|
135
|
40
|
66
|
Sumber: Direktorat Gizi Masyarakat
Salah satu
prioritas pembangunan nasional di bidang kesehatan adalah upaya perbaikan gizi
yang berbasis pada sumber daya, kelembagaan, dan budaya lokal. Kurang gizi akan
berdampak pada penurunan kualitas SDM yang lebih lanjut dapat berakibat pada
kegagalan pertumbuhan fisik, perkembangan mental dan kecerdasan, menurunkan
produktivitas, meningkatkan kesakitan serta kematian. Visi pembangunan gizi
adalah “Mewujudkan keluarga mandiri sadar gizi untuk mencapai status gizi
masyarakat/keluarga yang optimal”.
Secara umum
di Indonesia terdapat dua masalah gizi utama, yaitu kurang gizi mikro dan
kurang gizi makro. Kurang gizi makro pada umumnya disebabkan oleh kekurangan
asupan energi dan protein dibanding kebutuhannya yang menyebabkan gangguan
kesehatan, sedangkan kurang gizi mikro disebabkan kekurangan zat gizi mikro
(Dinkes Purworejo,2006). Gizi buruk adalah bentuk terparah dari proses
terjdinya kekurangan gizi menahun. Anak balita sehat atau kurang gizi secara
sederhana dapat diketahui dengan membandingkan antara berat badan menurut
umurnya dengan rujukan (standar) yang telah ditetapkan. Apabila berat badan
menurut umur sesuai dengan standar, anak disebut gizi baik. Kalu sedikit
dibawah standar disebut gizi kurang. Apabila jauh dibawah standar disebut gizi
buruk. Menurut Departemen Kesehatan, pada tahun 2003 terdapat sekitar 27,5% (5
juta balita kurang gizi), 3,5 juta anak (19,2%) dalam tingkat gizi kurang dan
1,5 juta anak gizi buruk (8,3%). WHO tahun 1999 mengelompokan wilayah
berdasarkan prevalensi gizi kurang ke dalam empat kelompok, yaitu rendah
(<10%), sedang (10-19%), tinggi (20-29%) dan sangat tinggi (>30%).
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari
gizi buruk?
2. Apa faktor penyebab
dari gizi buruk?
3. Apa saja tipe dari
gizi buruk?
4. Apa akibat yang
timbul dari gizi buruk?
5. Apa saja pecegahan
terhadap gizi buruk?
6. Bagaimana masalah
gizi di Indonesia?
1.3 Tujuan
Penulisan
1.
Untuk mengetahui pengertian dari gizi buruk.
2. Untuk mengetahui
penyebab dari gizi buruk.
3. Untuk mengetahui tipe
dari gizi buruk.
4. Untuk mengetahui
akibat dari gizi buruk.
5. Untuk mngetahui
pecegahan terhadap gizi buruk.
6. Untuk mengetahui
masalah gizi di Indonesia.
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1 Pengertian
Gizi buruk
adalah bentuk terparah (akut), merupakan keadaan kurang gizi tingkat berat yang
disebabkan oleh rendahnya tingkat konsumsi energi, protein serta makanan
sehari-hari dan terjadi dalam waktu yang cukup lama. Itu
ditandai dengan status gizi sangat kurus ( menurut BB terhadap TB ) dan hasil
pemeriksaan klinis menunjukkan gejala marasmus, kwashiorkor atau
marasmic-kwashiorkor. Ada beberapa cara untuk mengetahui seorang anak terkena
busung lapar (gizi buruk) yaitu :
1. Dengan cara menimbang
berat badan secara
teratur setiap bulan. Bila perbandingan berat
badan dengan umurnya dibawah 60% standar WHO-NCHS, maka dapat dikatakan anak
tersebut terkena busung lapar (Gizi Buruk).
2. Dengan mengukur tinggi badan dan Lingkar Lengan Atas (LILA) bila tidak sesuai dengan standar anak yang normal
waspadai akan terjadi gizi buruk.
2.2 Faktor Penyebab Gizi Buruk
Banyak faktor yang
yang mengakibatkan terjadinya kasus gizi buruk. Penyebab gizi buruk terdiri dari penyebab langsung
dan tidak langsung. Penyebab langsung terjadinya gizi buruk, yaitu:
Hal ini
disebabkan terbatasnya jumlah makanan yang dikonsumsi atau makanannya tidak
memenuhi unsur gizi yang
dibutuhkan karena alasan sosial dan ekonomi yaitu kemiskinan. Bayi dan balita tidak mendapat
makanan yang bergizi, dalam hal ini makanan alamiah terbaik bagi bayi yaitu air
susu ibu, dan sesudah usia enam bulan anak tidak mendapat makanan pendamping
ASI (MP-ASI) yang tepat, baik jumlah dan kualitasnya. MP-ASI yang baik tidak
hanya cukup mengandung energi dan protein, tetapi juga mengandung zat besi,
vitamin A, asam folat, vitamin B, serta vitamin dan mineral lainnya. MP-ASI
yang tepat dan baik dapat disiapkan sendiri di rumah. Pada keluarga dengan
tingkat pendidikan dan pengetahuan yang rendah sering kali anaknya harus puas
dengan makanan seadanya yang tidak memenuhi kebutuhan gizi balita karena
ketidaktahuan.
Hal ini
disebabkan oleh rusaknya beberapa fungsi organ tubuh sehingga tidak bisa menyerap zat-zat makanan secara
baik. Terjadinya kejadian infeksi penyakit ternyata mempunyai hubungan timbal
balik dengan gizi buruk. Anak yang menderita gizi buruk akan mengalami
penurunan daya tahan sehingga anak rentan terhadap penyakit infeksi. Disisi
lain anak yang menderita sakit infeksi akan cenderung menderita gizi buruk
cakupan pelayanan kesehatan dasar terutama imunisasi, penanganan diare,
tindakan cepat pada balita yang tidak naik berat badan, pendidikan, penyuluhan
kesehatan dan gizi, dukungan pelayanan di posyandu, penyediaan air bersih,
kebersihan lingkungan akan menentukan tinggi rendahnya kejadian penyakit
infeksi. Mewabahnya berbagai penyakit menular akhir-akhir ini seperti demam
berdarah, diare, polio, malaria, dan sebagainya secara hampir bersamaan
dimana-mana, menggambarkan melemahnya pelayanan kesehatan yang ada di daerah.
Berbagai penelitian membuktikan lebih dari separuh kematian bayi dan balita
disebabkan oleh keadaan gizi yang jelek. Resiko meninggal dari anak yang
bergizi buruk 13 kali lebih besar dibandingkan anak yang normal. WHO memperkirakan
bahwa 54% penyebab kematian bayi dan balita didasari oleh keaadaan gizi anak
yang jelek.
Ada berbagai penyebab tidak langsung yang menyebabkan gizi kurang
diantaranya yaitu:
1.
Ketahanan pangan keluarga yang kurang memadai.
Setiap keluarga diharapkan mampu untuk
memenuhi kebutuhan pangan seluruh anggota keluarganya dalam jumlah yang cukup
baik jumlah maupun mutu gizinya. Namun kemiskinan kadang menjadikan hambatan
dalam penyediaan pangan bagi keluarga.
2.
Pola pengasuhan anak kurang memadai.
Setiap keluarga dan mayarakat diharapkan
dapat menyediakan waktu, perhatian, dan dukungan terhadap anak agar dapat
tumbuh kembang dengan baik baik fisik, mental dan sosial. Di masa modern ini
pengasuhan anak kadang kita serahkan kepada pembantu yang belum tentu tahu
perkembangan dan kebutuhan makan anak.
3.
Pelayanan kesehatan dan lingkungan kurang memadai.
Sistim pelayanan kesehatan yang ada
diharapkan dapat menjamin penyediaan air bersih dan sarana pelayanan kesehatan
dasar yang terjangkau oleh setiap keluarga yang membutuhkan. Berbagai kesulitan
air bersih dan akses sarana pelayanan kesehatan menyebabkan kurangnya jaminan
bagi keluarga. Pokok masalah gizi buruk di masyarakat yaitu kurangnya
pemberdayaan keluarga dan kurangnya pemanfaatan sumber daya masyarakat
berkaitan dengan berbagai faktor langsung maupun tidak langsung. Hal ini dapat
ditanggulangi dengan adanya berbagai kegiatan yang ada di masyarakat seperti
posyandu, pos kesehatan.
Ketiga faktor tidak
langsung tersebut berkaitan dengan tingkat pendidikan, pengetahuan, dan
keterampilan keluarga. Semakin tinggi pendidikan, pengetahuan, dan
keterampilan, terdapat kemungkinan semakin baik tingkat ketahanan pangan
keluarga, semaikin baik pola pengasuhan anak, dan semakin banyak keluarga
memanfaatkan pelayanan kesehatan yang ada.
Berbagai faktor langsung
dan tidak langsung di atas, berkaitan dengan pokok masalah yang ada di
masyarakat dan akar masalah yang bersifat nasional. Pokok masalah di masyarakat
antara lain berupa ketidakberdayaan masyarakat dan keluarga mengatasi masalah
kerawanan ketahanan pangan keluarga, ketidaktahuan pengasuhan anak yang baik,
serta ketidakmampuan memanfaatkan pelayanan kesehatan yang tersedia. Akar
masalah gizi buruk adalah kurangnya pemberdayaan wanita dan keluarga serta
kurangnya pemanfaatan sumber daya masyarakat terkait dengan meningkatnya pengangguran,
inflasi dan kemiskinan yang disebabkan oleh krisis ekonomi, politik dan
keresahan sosial yang menimpa Indonesia. Keadaan tersebut telah memicu munculnya
kasus-kasus gizi buruk akibat kemiskinan dan ketahanan pangan keluarga yang
tidak memadai.
2.3 Tipe Gizi Buruk
Menurut
situs Dinas Kesehatan Pemda Ibukota Jakarta,keadaan gizi buruk ini secara
klinis dibagi menjadi 3 tipe:
1. Kwashiorkor
Kwashiorkor
adalah suatu keadaan di mana tubuh kekurangan protein dalam jumlah besar.
Selain itu, penderita juga mengalami kekurangan kalori. Nama kwashiorkor
berasal dari suatu daerah di Afrika, artinya “penyakit anak yang terlantar”
atau disisihkan karena ibunya mengandung alergi dan tidak lagi memberikan air
susu ibu padanya. Tanpa mengganti air susu ibu dan dapat tambahan pangan yang
seimbang anak (umumnya berumur kurang lebih 18 bulan) kurang mendapat protein. Jenis penyakit ini sering dijumpai pada bayi dan anak usia
6 bulan sampai 5 tahun pada keluarga berpenghasilan rendah, dan umumnya
kurang sekali pendidikannya. Kurang protein pangan adalah penyebab
utama kwashiorkor sedang zat pangan pemberi tenaga mungin cukup diperolehnya
atau bahkan berlebihan. Kasus ini sering dijumpai di daerah miskin, persediaan
makanan yang terbatas, dan tingkat pendidikan yang rendah. Penyakit ini menjadi
masalah di negara-negara miskin dan berkembang di Afrika, Amerika Tengah,
Amerika Selatan dan Asia Selatan. Di negara maju seperti Amerika Serikat
kwashiorkor merupakan kasus yang langka. Berdasarkan SUSENAS (2002), 26% balita
di Indonesia menderita gizi kurang dan 8% balita menderita gizi buruk. Anak dengan kwashiorkor akan lebih mudah untuk
terkena infeksi dikarenakan lemahnya sistem imun. Tinggi maksimal dan kempuan
potensial untuk tumbuh tidak akan pernah dapat dicapai oleh anak dengan riwayat
kwashiorkor. Bukti secara statistik mengemukakan bahwa kwashiorkor yang terjadi
pada awal kehidupan (bayi dan anak-anak) dapat menurunkan IQ secara permanen.
Penanganan dini pada kasus-kasus kwashiorkor umumnya memberikan hasil yang
baik. Penanganan yang terlambat (late stages) mungkin dapat memperbaiki status
kesehatan anak secara umum, namun anak dapat mengalami gangguan fisik yang permanen
dan gangguan intelektualnya. Kasus-kasus kwashiorkor yang tidak dilakukan
penanganan atau penanganannya yang terlambat, akan memberikan akibat yang
fatal. Penyebab terjadinya kwashiorkor adalah inadekuatnya intake protein yang
berlansung kronis. Faktor yang dapat menyebabkan hal tersebut diatas antara
lain:
a. Pola makan
Protein adalah zat yang sangat dibutuhkan anak untuk
tumbuh dan berkembang. Meskipun intake makanan mengandung kalori yang cukup,
tidak semua makanan mengandung protein/asam amino yang memadai. Bayi yang masih
menyusui umumnya mendapatkan protein dari ASI yang diberikan ibunya, namun bagi
yang tidak memperoleh ASI protein dari sumber-sumber lain (susu, telur, keju,
tahu dan lain-lain) sangatlah dibutuhkan. Kurangnya pengetahuan ibu mengenai
keseimbangan nutrisi anak berperan penting terhadap terjadinya kwashiorkhor,
terutama pada masa peralihan ASI ke makanan pengganti ASI.
b. Faktor sosial
Hidup di negara dengan tingkat kepadatan penduduk yang
tinggi, keadaan sosial dan politik tidak stabil, ataupun adanya pantangan untuk
menggunakan makanan tertentu dan sudah berlansung turun-temurun dapat menjadi
hal yang menyebabkan terjadinya kwashiorkor.
c. Faktor ekonomi
Kemiskinan keluarga/penghasilan yang rendah yang tidak
dapat memenuhi kebutuhan berakibat pada keseimbangan nutrisi anak tidak
terpenuhi, saat dimana ibunya pun tidak dapat mencukupi kebutuhan proteinnya.
d. Faktor infeksi dan penyakit lain
Telah lama diketahui bahwa adanya interaksi sinergis
antara MEP dan infeksi. Infeksi derajat apapun dapat memperburuk keadaan gizi.
Dan sebaliknya MEP, walaupun dalam derajat ringan akan menurunkan imunitas
tubuh terhadap infeksi.
Tanda dan
gejala klinis yang timbul pada kwashiorkor antara lain:
a.
Rambut tipis berwarna merah seperti
rambut jagung dan mudah dicabut tanpa menimbulkan rasa sakit.
b.
Edema pada seluruh tubuh terutama pada punggung kaki
dan bila ditekan akan meninggalkan
bekas.
c.
Kelainan kulit (dermatosis)
seperti timbulnya ruam berwarna
merah muda yang meluas dan berubah warna menjadi coklat kehitaman dan
terkelupas.
d.
Wajah membulat dan sembab (moon face).
e.
Pandangan mata sayu.
f.
Pembesaran hati.
g.
Sering disertai penyakit infeksi akut, diare, ISPA, dll.
h.
perubahan status mental menjadi cengeng, rewel,
kadang apatis.
i.
Otot mengecil (hipotrofi) dan menyebabkan lengan
atas kurus sehingga ukuran LILA-nya kurang dari 14
cm.
Dari sekian
banyak gejala klinis, ada beberapa gejala klinis tersebut yang khas pada
penderita kwashiorkor. Tanpa gejala klinis yang khas ini, penegakkan diagnosis
kwashiorkor tidak dapat ditegakkan. Gejala yang khas tersebut adalah edema,
rambut yang tidak hitam, mudah rontok, jarang dan tipis, perut buncit karena
hepatomegali, dan crazy pavement dermatosis. Karena adanaya edema, maka
kwashiorkor bisa disebutedematous
protein calorie malnutrition.
2.
Marasmus
Marasmus
adalah bentuk malnutrisi kalori protein yang terutama akibat kekurangan kalori
yang berat dan kronis terutama terjadi selama tahun pertama kehidupan dan
mengurusnya lemak bawah kulit dan otot (Dorland, 1998:649). Yang mencolok pada keadaan nutritional marasmus ialah
pertumbuhan yang berkurang atau terhenti disertai atrofi otot dan menghilangnya
lemak bawah kulit. Pada permulaan kelainan demikian merupakan proses
fisiologik. Untuk berlangsungnya hidup jaringan, maka tubuh memerlukan energi
yang tidak dapat dipenuhi oleh makanan yang diberikan, sehingga harus didapat
dari tubuh sendiri, sehingga cadangan protein dipakai juga untuk memenuhi
energi. Penyebab utama marasmus adalah kurang kalori protein yang dapat terjadi
karena diet yang tidak cukup, kebiasaan makan yang tidak tepat, karena kelainan
metabolik atau malformasi kongenital (Nelson,1999). Marasmus dapat terjadi pada
segala umur, akan tetapi yang sering dijumpai pada bayi yang tidak mendapat
cukup ASI dan tidak diberi makanan penggantinya atau sering diserang diare.
Marasmus juga dapat terjadi akibat berbagai penyakit lain seperti infeksi,
kelainan bawaan saluran pencernaan atau jantung, malabsorpsi, gangguan
metabolik, penyakit ginjal menahun dan juga gangguan pada saraf pusat (Dr.
Solihin, 1990:116). Tanda dan gejala yang terjadi seperti:
1. Wajah seperti orang
tua.
3. Sering disertai
penyakit infeksi (diare, umumnya kronis berulang, TBC).
5. Kulit keriput,
jaringan lemak subkutis sangat sedikit sampai tidak ada (pakai celana longgar-baggy pants).
6. Perut cekung.
7. Iga gambang.
Karena tidak ada edema, maka marasmus sering disebut non edematous protein calorie malnutrition.
3.
Marasmic-Kwashiorkor
Penyakit
ini merupakan gabungan dari marasmus dan kwashiorkor dengan gabungan gejala
yang menyertai seperti:
a.
Berat badan penderita hanya berkisar di angka 60% dari berat normal. Gejala
khas kedua penyakit tersebut nampak jelas, seperti edema, kelainan
rambut, kelainan kulit dan sebagainya.
b. Tubuh
mengandung lebih banyak cairan, karena berkurangnya lemak dan otot.
c.
Kalium dalam tubuh menurun drastis sehingga menyebabkan gangguan metabolik
seperti gangguan pada ginjal dan pankreas.
d. Mineral
lain dalam tubuh pun mengalami gangguan, seperti meningkatnya kadar natrium dan
fosfor inorganik serta menurunnya kadar magnesium.
Gejala
klinis Kwashiorkor-Marasmus tidak lain adalah kombinasi dari gejala-gejala
masing-masing penyakit tersebut.
2.4 Akibat Gizi Buruk
1.
Menyebabkan kematian bila tidak segera ditanggulangi oleh tenaga kesehatan.
2.
Kurang cerdas.
3.
Berat dan tinggi badan pada umur dewasa lebih rendah dari normal.
4.
Sering sakit infeksi seperti batuk,pilek,diare,TBC,dan lain-lain.
2.5 Pencegahan Gizi
Buruk
1. Memberikan ASI eksklusif (hanya ASI)
sampai anak berumur 6 bulan. Setelah
itu, anak mulai
dikenalkan dengan makanan tambahan sebagai pendamping ASI yang sesuai
dengan tingkatan umur, lalu disapih setelah berumur 2 tahun.
2. Anak diberi makanan
yang bervariasi, seimbang antara kandungan protein, lemak, vitamin dan
mineralnya. Perbandingan komposisinya untuk lemak minimal 10% dari total kalori
yang dibutuhkan, sementara protein 12% dan sisanya karbohidrat.
3. Rajin menimbang dan
mengukur tinggi anak dengan mengikuti program posyandu. Cermati apakah
pertumbuhan anak sesuai dengan standar di atas. Jika tidak sesuai, segera
konsultasikan hal itu ke dokter.
4. Jika anak dirawat
di rumah sakit karena
gizinya buruk, bisa ditanyakan kepada petugas pola dan jenis makanan yang
harus diberikan setelah pulang dari rumah sakit.
5. Jika anak menderita
karena kekurangan gizi, maka segera berikan kalori yang tinggi dalam bentuk karbohidrat, lemak, dan gula.
Sedangkan untuk proteinnya bisa diberikan setelah sumber-sumber kalori lainnya
sudah terlihat mampu meningkatkan energi anak. Berikan pula suplemen mineral dan vitamin penting lainnya. Penanganan dini
sering kali membuahkan hasil yang baik. Pada kondisi
yang sudah
berat, terapi bisa dilakukan dengan meningkatkan kondisi kesehatan secara umum.
Namun, biasanya akan meninggalkan sisa gejala kelainan fisik yang permanen dan
akan muncul masalah intelegensia di kemudian hari.
2.6 Masalah
Gizi di Indonesia
dan kurang
gizi mikro. Kurang gizi makro pada dasarnya merupakan gangguan kesehatan yang
disebabkan oleh kekurangan asupan energi dan protein. Masalah gizi makro adalah masalah gizi yang
utamanya disebabkan ketidakseimbangan antara kebutuhan dan asupan energi dan protein. Kekurangan
zat gizi makro
umumnya disertai dengan kekurangan zat gizi mikro.
Kesepakatan
global dalam bidang pangan dan gizi terutama World Summit for Children 1990,
international Conference on Nutrition 1992 di Roma dan World Food Summit 1996
menetapkan sasaran program pangan dan perbaikan gizi yang harus dicapai oleh
semua negara. Sasaran global tersebut sampai saat ini menjadi salah satu acuan
pokok di dalam pembangunan program pangan dan gizi di semua negara termasuk
Indonesia. Pembangunan program pangan dan gizi di Indonesia selam 30 tahun
terakhir menunjukan hasil yang positif. Analisis penyediaan pangan tahun 1999
secara makro disimpulkan bahwa persediaan energi dan protein per kapita/hari
masing-masing sebesar 2.890 Kkal dan 62,7 gram, telah memenuhi kecukupan yang dianjurkan. Masalah
pangan baru terlihat pada tingkat konsumsi rumah tangga. Data tahun 1998
menunjukan bahwa antara 49% sampai 53% rumah tangga di berbagai daerah
mengalami defisit energi (konsumsi < 70% kebutuhan energi). Defisit pangan
di tingkat rumah tangga disertai distribusi pangan antar anggota keluarga yang
tidak baik didasari pengetahuan atau
perilaku gizi yang belum memadai berakibat munculnya masalah kurang
gizi.
Gambaran
makro perkembangan keadaan gizi masyarakat menunjukan kecenderungan yang
sejalan. Prevalensi kurang energi protein pada balita turun dari 37,5% pada tahun
1989 menjadi 26,4% pada tahun 1999. Penurunan serupa juga terjadi pada
prevalensi masalah gizi lain. Prevalensi gangguan akibat kurang yodium, kurang
vitamin A, dan anemia gizi pada tahun 1998 masing-masing 9,8%, 0,3%, dan 50,9%.
Dibandingkan dengan sasaran global yang disepakati, keadaan gizi masyarakat di
Indonesia masih jauh ketinggalan. Sebagai contoh, pada tahun 2005 diharapkan
terjadi penurunan prevalensi kurang energi protein menjadi 20%, gangguan akibat
kurang yodium menjadi 5%, anemnia gizi menjadi 40%, dan bebas masalah kebutaan
akibat kurang vitamin A.
Krisis
ekonomi yang terjadi sejak 1997 semakin memperburuk keadaan gizi masyarakat.
Selama krisis, ada kecenderungan meningkatnya prevalensi gizi kurang dan gizi
buruk terutama pada kelompok umur 6-23 bulan. Munculnya kasus-kasus marasmus,
kwashiorkor merupakan indikasi adanya penurunan ketahanan pangan tingkat rumah
tangga. Upaya untuk mencegah semakin memburuknya keadaan gizi masyarakat di
masa mendatang harus dilakukan segera dan direncanakan sesuai masalah daerah
sejalan dengan kebijakan pemerintah dalam pelaksanaan desentralisasi.
Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang
Nomor 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Daerah, dan Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 2000 tentang Kewenangan
Pemerintah dan Provinsi sebagai daerah otonom, mengatur kewenangan pemerintahan
daerah dalam merencanakan dan melaksanakan pembangunan termasuk pembangunan di
bidang pangan dan gizi. Iklim baru ini merupakan peluang untuk percepatan
pencapaian sasaran nasional dan global. Adanya kebijakan dan strategi yang
tepat, program yang sistematis mulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan
pemantauan akan sangat mendukung pencapaian sasaran nasional.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Gizi buruk adalah bentuk terparah (akut), merupakan
keadaan kurang gizi tingkat berat yang disebabkan oleh rendahnya tingkat
konsumsi energi dan protein dan makanan sehari-hari dan terjadi dalam waktu
yang cukup lama. Penyebab gizi buruk terdiri dari penyebab langsung dan tidak
langsung. Penyebab langsung, yaitu kurangnya asupan gizi dari makanan, akibat terjadinya penyakit yang mengakibatkan infeksi. Sedangkan penyebab tidak langsungnya yaitu ketahanan pangan keluarga yang kurang
memadai, pola pengasuhan anak kurang memadai, pelayanan kesehatan dan
lingkungan kurang memadai. Tipe gizi buruk terdiri dari marasmus,
kwashiorkor, marasmic-kwashiorkor.
3.2 Saran
Ketidakseriusan
pemerintah terlihat jelas ketika penanganan kasus gizi buruk terlambat.
Seharusnya penanganan pelayanan kesehatan dilakukan disaat penderita gizi buruk
belum mencapai tahap membahayakan. Setelah kasus gizi buruk merebak barulah
pemerintah melakukan tindakan (serius). Keseriusan pemerintah tidak ada artinya
apabila tidak didukung masyarakat itu sendiri. Sebab, perilaku masyarakat yang
sudah membudaya selama ini adalah,anak-anak yang menderita penyakit kurang
mendapatkan perhatian orang tua. Anak-anak itu hanya diberi makan seadanya,
tanpa peduli akan kadar gizi dalam makanan yang diberikan. Apalagi kalau
persediaan pangan keluarga sudah menipis. Tanpa data dan informasi yang cermat
dan lengkap sebaiknya jangan terlalu cepat menyimpulkan bahwa adanya gizi buruk
identik dengan kemiskinan. Dan seharusnya para ibu mengupayakan sesuatu
yang terbaik untuk anaknya yang nantinya anak tersebut dapat menolong sang ibu.
DAFTAR PUSTAKA
dr.
Entjang indan. ilmu kesehatan masyarakat. Alumni UNPAD 1986. Bandung
Program
akselerasi peningkatan gizi masyarakat di kutip melalui http://one.indoskripsi.com/node/748
Tidak ada komentar:
Posting Komentar